Rekonstruksi dan Refleksi Tragedi ’65
Oleh : Baskara T. Wardaya, SJ
Tahun 2005 merupakan tahun peringatan 40 tahun salah satu lembaran paling
hitam dalam sejarah Indonesia, yakni Tragedi 1965. Dalam tragedi itu ada tujuh
orang perwira tinggi Angkatan Darat ditangkap dan dibunuh sebagai akibat operasi
militer yang diadakan oleh Letkol Untung Syamsuri dan kawan-kawan. Selang
beberapa waktu kemudian ada ratusan ribu rakyat Indonesia yang dalam tempo
beberapa bulan tewas dibantai oleh rekan-rekan sesama warga negara. Lebih
lanjut, selama beberapa dekade berikut, ingatan akan tragedi yang terjadi
pada tahun 1965-66 itu terus diproduksi dan dikemas sedemikian rupa hingga
menjadi alat efektif untuk melayani berbagai macam kepentingan kelompok.
Oleh karena itu dalam berbicara mengenai Tragedi ’65 kita perlu merinci
dan menyoroti tiga unsur penting yang tampak tak terpisahkan namun sebenarnya
berbeda. Ketiganya adalah: (a) operasi militer Letkol Untung dkk, (b) pembunuhan
massal; dan (c) produksi ingatan atas tragedi tersebut. Tanpa bermaksud membela
atau menyalahkan PKI maupun berbagai pihak lain yang terlibat, tulisan ini
dimaksudkan untuk mengajak para pembaca agar mau secara kritis berpikir ulang
mengenai ketiga hal tersebut dan belajar dari refleksi atas ketiganya.
1. Operasi militer Letkol Untung dan kawan-kawan.
Ketika orang berbicara mengenai peristiwa G30S tahun 1965 biasanya versi yang
secara resmi dan umum berlaku adalah sebagai berikut. Pada tanggal 30 September
1965 melalui Pasukan Cakrabirawa, PKI telah melancarkan kudeta dengan jalan
membunuh tokoh-tokoh tertinggi militer Indonesia di Jakarta. Begitu kejamnya
orang-orang PKI itu sehingga enam orang Jendral plus seorang Kapten telah
menjadi korban. [Dalam salah satu operasi penangkapan, seorang Jenderal berhasil
lolos dari upaya itu, namun putrinya tewas secara mengenaskan di tangan PKI.]
Kekejaman PKI berlanjut di Lubang Buaya, dengan jalan menyayat-nyayat tubuh
para Jendral. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam organisasi Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia) bahkan memotong alat-alat vital para Jendral itu
sambil menari-nari di tengah orgi yang disebut “pesta harum bunga”.
Mata sebagian para korban juga dicungkil dengan alat khusus.
Menurut versi resmi ini, karena PKI dipandang sebagai satu-satunya “dalang”
dari peristiwa keji tersebut, maka “sudah selayaknya” bahwa ratusan
ribu anggota PKI di manapun mereka berada dikejar dan dibunuh secara beramai-ramai.
Pantas pula peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 itu disebut
“G30S/PKI” dengan tekanan pada “PKI”-nya karena PKI
merupakan pelaku utama. Juga, tepat kalau istilah yang dipakai adalah istilah
“Gestapu” (Gerakan September Tigapuluh). PKI juga layak ditumpas
karena sebelumnya mereka telah dua kali “memberontak” (tahun 1926/27
dan 1948), dan ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis
yang ateis.
Masih menurut versi di atas, siapapun yang telah berhasil “menyelamatkan”
negara dan bangsa ini dari kaum komunis dengan jalan memimpin operasi pembantaian
dan pemenjaraan massal atas mereka, “berhak” menjadi pemimpin
tertinggi Republik Indonesia. Tanpa kepemimpinannya (dan orang-orang dekatnya)
negeri ini akan terus menerus berada di bawah rongrongan kaum komunis yang
kejam.....
Lepas dari apakah kita setuju atau tidak dengan versi resmi di atas, tampak
ada sejumlah kejanggalan atau misteri yang belum terjawab berkaitan dengan
narasi mengenai apa yang terjadi di seputar tanggal 30 September dan awal
Oktober 1965 itu. Misalnya saja soal tuduhan PKI sebagai pelaku utama G30S.
Kita ketahui, PKI adalah organisasi sipil. Sementara itu tokoh-tokoh kunci
dalam gerakan yang menamakan diri sebagai “Gerakan Tigapuluh September”
(G30S) itu – yakni Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief dan Brigjen Soepardjo
– adalah justru personil-personil militer, khususnya dari kesatuan TNI-Angkatan
Darat. Perlu diingat, Angkatan Darat sendiri sejak Pemilu 1955 telah makin
sengit berlawanan dengan PKI. Penyebabnya antara lain adalah tingginya perolehan
suara PKI sementara, dalam pemilu tersebut perolehan partai IPKI (Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia), yakni partai politik yang dipelopori oleh Angkatan
Darat, amat kecil. Pertanyaannya, sedemikian hebatkah PKI sehingga meskipun
merupakan organisasi sipil ia telah berhasil mempengaruhi atau “membina”
para perwira Angkatan Darat ini sehingga mereka tunduk dan mau melaksanakan
rencana PKI untuk melawan kesatuannya sendiri?
Dalam pledoinya, Kolonel Abdul Latief – Komandan Brigade Infanteri
1 Jayasakti Kodam V Jaya dan salah seorang tokoh kunci G30S – mengatakan
bahwa sebelum dilaksanakannya operasi militer itu, pada tanggal 30 September
1965 sore ia telah melapor ke Pangkostrad Mayor Jendral Soeharto. Dikatakan
bahwa Soeharto juga telah mengetahui rencana move militer itu melalui salah
seorang bekas anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo, yang menemuinya
pada tanggal 28 September 1965. Pertanyaannya, mengapa Pangkostrad Soeharto
tidak melaporkan rencana operasi militer itu ke atasannya, yakni Jendral Ahmad
Yani sebagai Panglima Angkatan Darat? Atau mengapa ia tidak menyampaikan informasi
tersebut ke Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi? Padahal ia tahu
bahwa operasi militer itu adalah operasi besar dan serius, dan direncanakan
akan berlangsung di Ibukota Negara.
Pada waktu itu salah satu posisi paling penting dalam angkatan bersenjata
di Indonesia adalah posisi Pangkostrad (Panglima Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat) yang waktu itu dijabat oleh Mayjen Soeharto. Pertanyaannya,
kalau G30S itu adalah gerakan PKI untuk melawan Angkatan Darat, mengapa Soeharto
sebagai Pangkostrad tidak diapa-apakan? Terhadap pertanyaan ini ada dua kemungkinan
jawaban: (a) Para pelaku G30S begitu bodoh sehingga mereka mengabaikan Soeharto
dan pasukannya; (b) telah ada sikap “saling pengertian” antara
para pelaku G30S dengan Soeharto, atau bahkan Soeharto merupakan bagian dari
G30S itu sendiri. Mana dari kemungkinan ini yang lebih dapat diterima?
Dalam konteks Perang Dingin tentu ada banyak negara yang senang atau sebaliknya
khawatir dengan perkembangan politik di Indonesia waktu itu. Hal ini terutama
berkaitan dengan kecenderungan politik Presiden Soekarno, soal konfrontasi
Indonesia melawan Malaysia, perkembangan politis yang berujung pada “segitiga
ketegangan” antara PKI, Bung Karno dan militer (khususnya Angkatan Darat).
Sangat mungkin bahwa sejumlah negara, entah itu dari blok kapitalis pimpinan
Amerika Serikat maupun kubu komunis yang dipelopori Uni Soviet dan Cina, ikut
berkepentingan atas terjadinya perubahan mendasar dalam perpolitikan di Indonesia
waktu itu. Dengan demikian pertanyaannya, bukankah tidak mungkin bahwa ada
sejumlah pihak asing yang – entah langsung atau tak langsung –
ikut terlibat dalam aksi militer yang diperkirakan akan membawa perubahan
mendasar itu? Kalau keterlibatan itu ada, benarkan PKI mampu mengorganisir
berbagai kekuatan asing itu?
Satu-satunya kaitan (link) yang menghubungkan Gerakan 30 September dengan
PKI adalah Ketua Biro Khusus PKI, yakni Sjam Kamaruzzaman alias Sjamsul Qamar
Mubaidah. Oleh PKI ia ditugasi untuk “membina” sejumlah anggota
TNI-AD agar mendukung PKI. Pertanyaannya, bagaimana dengan dugaan bahwa sebenarnya
Sjam adalah sekaligus bertindak sebagai agen ganda yang juga bertugas memata-matai
gerak PKI demi kepentingan kalangan militer? Kalau dugaan itu benar, bagaimana
mungin posisi Sjam yang masih meragukan itu bisa dijadikan bukti bahwa PKI
merupakan “dalang” dari operasi militer G30S? “Misteri”
tentang Sjam ini menjadi lebih menarik jika diingat bahwa meskipun dituduh
sebagai tokoh kunci PKI dalam G30S ia tidak dihukum mati seperti yang lain.
bahkan di mana kini ia berada masih merupakan tanda tanya besar yang sepertinya
tak seorang pun mau mengatakannya.
Sering dikatakan bahwa PKI adalah satu-satunya dalang dari operasi militer
kelompok G30S. Pertanyaannya, benarkah bahwa dalang dari operasi militer itu
tunggal? Tidak mungkinkah bahwa dalang dari peristiwa tersebut bukan satu
melainkan beberapa? Mustahilkah bahwa operasi militer yang dilakukan oleh
kelompok G30S itu merupakan muara dari berbagai kelompok kepentingan ( dari
dalam maupun luar negeri) yang sama-sama berharap menguasai perpolitikan di
Indonesia saat itu? Selanjutnya, tidak mungkinkah bahwa seandainyapun PKI
terlibat, ia merupakan salah satu dari berbagai kelompok kepentingan itu,
tetapi bukan satu-satunya?
Menurut versi resmi di atas, apa yang terjadi pada malam 30 September-1 Oktober
1965 itu merupakan suatu “pemberontakan”. Maksudnya tentu saja
pemberontakan yang dilakukan oleh PKI melawan pemerintah RI. Pertanyaannya,
tepatkah penggunaan istilah “pemberontakan” itu di sini? Jawab
atas pertanyaan ini penting, mengingat secara etimologis istilah tersebut
memiliki makna yang berbeda. Istilah pemberontakan dalam bahasa Inggris adalah
rebellion, yang berarti “an open defiance of or resistance to an established
government” – suatu tindakan menentang atau resistensi secara
terbuka terhadap pemerintah yang ada. Istilah itu perlu dibedakan dengan istilah
coup d’etat (kudeta), yang berarti perebutan kekuasaan yang dilakukan
oleh tentara bersama sipil; dengan istilah pronounciamento yang berarti perebutan
kekuasaan yang semua pelakunya adalah tentara; dan dengan istilah putsch yang
pengertiannya adalah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh sekelompok tentara.
Dari definisi-definisi itu kelihatan bahwa operasi militer yang dilakukan
oleh Letkol Untung dan kawan-kawannya itu lebih dekat dengan pengertian putsch
daripada pemberontakan, karena tidak dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan
Presiden Soekarno dan hanya dilakukan oleh sekelompok tentara. Tetapi mengapa
istilah yang dipakai oleh versi resmi selalu saja istilah “pemberontakan”
dan bukan putsch? Itupun selalu dikaitkan dengan “pemberontakan-pemberontakan
PKI” yang terjadi pada tahun 1926/27 dan 1948, biasanya tanpa pemahaman
yang memadai tentang konteks dan kaitan antara dua peristiwa tersebut.
Selain pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu masih ada sejumlah pertanyaan
lain yang bisa diajukan terhadap versi resmi itu. Misalnya saja berkaitan
dengan benar atau tidaknya kisah tentang pencungkilan mata para korban, atau
tentang tarian orgi para anggota Gerwani yang berjoget sambil menyayat-nyayat
bagian tubuh para Jendral militer. Bisa diajukan pula pertanyaan mengenai
benar atau tidaknya pandangan bahwa TNI-Angkatan Udara merupakan bagian utama
dari G30S. Sementara itu kaitan geografis antara Markas TNI-AU di Halim Perdanakusuma
dengan lokasi pembuangan mayat para Jendral di Lubang Buaya juga sering kabur
– atau sengaja dikaburkan.
2. Pembunuhan Massal.
Apapun jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di seputar kejanggalan
atau misteri versi resmi di atas, telah diketahui bahwa dalam waktu singkat
operasi militer yang dipimpin oleh Letkol Untung dan kawan-kawan itu diketahui
umum, dan pada tanggal 2 Oktober dinyatakan abortive atau gagal. Koran PKI
Harian Rakjat sempat menyatakan dukungan kepada operasi militer Letkol Untung,
tetapi siapa sebenarnya yang membuat pernyataan itu dan kapan konsep pernyataan
itu dibuat, kini banyak diperdebatkan. Letkol Untung pun melarikan diri ke
luar Jakarta. Bersamaan dengan itu tercerai-berai pula para bekas pelaku utama
Gerakan Tigapuluh September. Sejak itu berlangsung masa yang relatif tenang,
dalam arti tak terjadi pergolakan sosial besar-besaran di masyarakat, meskipun
di sana-sini muncul suasana tegang akibat pembunuhan para Jendral di Jakarta
beserta berita-berita tentang itu.
Pergolakan sosial baru terjadi sekitar tanggal 20-21 Oktober, ditandai dengan
pembunuhan massal yang berlangsung di Jawa Tengah, khususnya di daerah Klaten
dan Boyolali. Dengan kata lain, pembunuhan massal itu baru terjadi sekitar
dua atau tiga minggu setelah berlangsungnya operasi militer yang dilakukan
oleh kelompok G30S. Dan pembunuhan massal itupun terjadi secara bergelombang.
Pada bulan Oktober pembunuhan terjadi di Jawa Tengah, selanjutnya pada bulan
November merembet ke Jawa Timur, dan baru pada bulan Desember terjadi di Pulau
Bali.
Pembunuhan itu sendiri berlangsung secara sungguh keji dan sungguh massal.
Pada dinihari tanggal 23 Oktober 1965, misalnya, di Boyolali ada sekitar 250
orang yang dibunuh secara beramai-ramai, termasuk seorang guru SD dan istrinya
yang dilempar ke sumur dalam keadaan hidup-hidup. Dalam keadaan tak menentu,
banyak warga keturunan Cina di Semarang, Yogyakarta dan Surakarta juga menjadi
korban amuk massa. Tindakan kejam serupa terjadi di berbagai tempat lain di
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan sejumlah lokasi di luar Jawa. Jumlah pasti
tentang berapa korban yang tewas sulit ditentukan, tetapi umumnya berkisar
antara setengah juta sampai satu juta jiwa. Dengan demikian secara umum dapat
dikatakan bahwa dari segi skala kekejaman dan jumlah, pembantaian massal 1965
di Indonesia merupakan salah satu kekejian kemanusiaan di luar perang yang
paling mengerikan.
Di sinilah terletak aspek tragedi dari apa yang terjadi pada tahun 1965-1966
itu. Yakni pertama, bahwa tujuh perwira tinggi militer telah dibunuh –
bukan oleh musuh dari luar Indonesia, melainkan oleh sesama warga negaranya,
bukan di medan tempur melainkan di rumah atau lingkungan masing-masing. Kedua,
pembunuhan atas para perwira itu disusul oleh pembantaian ratusan ribu (kalau
tak mau dikatakan jutaan) atas warga bangsa ini – juga bukan oleh kekuatan
asing, melainkan oleh rekan-rekan sesama warga bangsanya. Ketiga, tak cukup
berhenti disitu, pembantaian warga sipil dan militer tersebut dilanjutkan
dengan pemenjaraan massal atas mereka yang dituduh sebagai punya kaitan dengan
PKI, tanpa proses pengadilan. Hak-hak mereka sebagai warga negara dicabut
oleh rekan-rekan sebangsa mereka. Selanjutnya mereka mengalami stigmatisasi
yang akan merugikan secara sosial, politik dan ekonomi secara berkepanjangan.
Hak-hak asasi mereka sebagai manusia dan sebagai warga negara telah dilanggar
dan terus-menerus dilanggar.
Berkaitan dengan pembunuhan massal itu tentu ada banyak hal yang juga bisa
dipertanyakan. Antara lain adalah, mengapa pembunuhan massal itu tidak berlangsung
secara serempak, melainkan bergelombang atau bergiliran? Adakah faktor-faktor
tertentu yang menjadi pemicu bagi mulainya pembunuhan massal itu di masing-masing
daerah? Bahwa sejak diberlakukannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan
UUBH (Undang-undang Bagi Hasil) pada tahun 1964 terjadi ketegangan antara
PKI dan para tuan tanah memang betul; tetapi mengapa pembantaian di masing-masing
daerah itu baru mulai terjadi pada tahun 1965 dan itupun pada bulan-bulan
terakhir tahun tersebut dan awal tahun 1966? Di beberapa tempat, pembantaian
berlangsung justru pada tahun 1967-1968, saat ketika konon PKI telah berhasil
ditumpas. Dan korbannya ternyata memang bukan hanya para anggota PKI. Mengapa?
3. Produksi dan Reproduksi Ingatan.
Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tak dapat dipungkiri
bahwa tampaknya memang terdapat unsur kesengajaan untuk mengarahkan atau bahkan
memproduksi opini publik dan ingatan (memory) akan apa yang terjadi pada tahun
1965 itu menurut versi tertentu demi tujuan-tujuan tertentu pula. Misalnya
saja penggunaan istilah “G30S/PKI”. Meskipun sebenarnya dalang
yang sesungguhnya dari pembunuhan para Jendral itu belum jelas – atau
bahkan setelah diketahui bahwa tokoh-tokoh kunci dari G30S itu adalah justru
anggota militer – tetap saja digunakan istilah tersebut dengan maksud
untuk memojokkan PKI. Bahkan penggunaan istilah “Gestapu” tampak
sekali sengaja dilakukan untuk mengasosiasikan operasi militer yang konon
didalangi oleh PKI itu dengan polisi rahasia Jerman Gestapo (Geheime Stat
Polizei) yang terkenal kejamnya.
Produksi ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965 itu sudah dimulai
ketika pada dua pekan pertama bulan Oktober hampir semua koran disensor, dan
hanya koran-koran tertentu yang boleh terbit, khususnya harian Angkatan Bersenjata
dan Berita Yudha yang dikelola oleh Angkatan Darat. Melalui koran-koran ini,
dan melalui berbagai cerita yang beredar di masyarakat, dikisahkan mengenai
berbagai kekejaman PKI di Lobang Buaya, seperti kisah “pesta harum bunga”,
kisah pemotongan alat-alat vital, serta kisah pencungkilan mata yang sampai
sekarang belum terbukti itu. Dalam koran Angkatan Bersejata edisi 7 Oktober
1965, misalnya, dikatakan bahwa para Jendral itu “matanya dicongkel”.
Padahal, Brigjen TNI dr Rubiono Kertapati yang mengetuai tim dokter yang melakukan
autopsi atas para korban menyatakan dalam laporan visum et repertum-nya bahwa
tak ada penyiksaan atas tubuh para korban.
Lepas dari apakah orang setuju atau tak setuju dengan PKI, atau apakah sebenarnya
PKI bersalah atau tidak, faktanya adalah bahwa hanya kisah-kisah resmi versi
militer yang memojokkan PKI yang waktu itu boleh beredar. Bahkan ketika ada
anggota TNI AD yang ditugaskan sebagai wartawan Kantor Berita Antara meliput
kekejaman terhadap PKI ia malah “di-PKI-kan” dan dijebloskan ke
penjara selama bertahun-tahun. Akibatnya, rakyat menjadi mudah disulut untuk
melakukan tindakan massal dalam rangka menghabisi para anggota PKI atau yang
diduga anggota PKI. Slogan yang beredar di masyarakat adalah “membunuh
atau dibunuh” – persis slogan militer dalam perang. Pembunuhan
massal pun terjadi, dan bagaikan Perang Baratayudha, bangsa Indonesia “mandi
darah” saudara sendiri. Kemudian pembunuhan itu diikuti dengan pemenjaraan
massal di Jawa mau pun di luar Jawa, dan hampir semuanya tanpa didahului oleh
proses pengadilan yang memadai.
Selanjutnya, ingatan akan apa yang terjadi pada tahun 1965 menurut versi
resmi itu tidak hanya di-produksi melainkan juga terus di-reproduksi, karena
produksi dan reproduksi macam itu menguntungkan sejumlah pihak, baik dari
kalangan militer maupun sipil. Pembuatan, pemutaran dan pemaksaan untuk menonton
film yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer pada tahun
1980-an hingga 1990-an hanyalah salah satu contoh. Dalam film yang berat sebelah
dan bernada propaganda atas versi resmi itu ditunjukkan kekejaman yang terjadi
pada dinihari 1 Oktober 1965 yang menurut film tersebut jelas-jelas dilakukan
oleh PKI.
Oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu produksi dan reproduksi ingatan
menurut versi resmi atas Tragedi ’65 itu dipandang penting, karena hal
itu dapat digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat sehingga mudah dikontrol.
Ia menjadi semacam menara panotik-nya Foucault yang berfungsi sebagai sistem
pengawasan yang dominan tapi tak mudah diduga. Pembubuhan kode “ET”
(Eks Tapol) pada KTP milik orang-orang yang melawan kebijakan penguasa, misalnya,
membuat orang-orang itu ketakutan dan berpikir dua kali kalau tak mau tunduk
pada pemerintah.
4. Konsekuensi lebih jauh.
Lebih daripada sekedar membuat takutnya orang-orang yang KTP-nya diberi kode
“ET”, produksi dan reproduksi ingatan oleh penguasa yang bersifat
sepihak juga memiliki konsekuensi lebih jauh bagi kehidupan bersama sebagai
bangsa. Salah satunya ialah bahwa ingatan masyarakat akan apa yang terjadi
pada tahun 1965 itu menjadi kabur dan campur-aduk. Masyarakat bahkan sulit
membedakan antara (a) operasi militer yang dilakukan oleh Letkol Untung dan
kawan-kawan dengan (b) pembunuhan massal terhadap rakyat Indonesia oleh rakyat
Indonesia, serta (c) berbagai upaya produksi dan reproduksi ingatan akan Tragedi
1965 yang telah dimanipulasi.
Kebiasaan memusatkan peringatan Tragedi ’65 pada bulan September adalah
contoh bagaimana masyarakat mengira bahwa “puncak” tragedi itu
ada pada bulan September. Seakan-akan pada bulan itu-lah tragedi tersebut
terjadi. Padahal pembunuhan para Jendral itu terjadi pada dinihari hari pertama
bulan Oktober, dan pada bulan Oktober pula mulai terjadi pembantaian massal
di Jawa Tengah, yang kemudian terus berlangsung pada bulan Nopember, Desember,
dst. [Kiranya sudah saatnya peringatan Tragedi ’65 digeser ke bulan
Oktober atau setelahnya, supaya bangsa Indonesia bisa belajar untuk tidak
saling membunuh].
Tidak lengkapnya ingatan masyarakat akan apa yang terjadi pada tahun 1965
itu juga membuat tidak adanya upaya hukum untuk secara serius mengadili para
pemberi komando maupun para pelaku-lapangan atas pembantaian massal itu. Mahmilub
(Mahkamah Militer Luar Biasa) yang diadakan pada waktu itu terkesan lebih
dimaksudkan untuk memposisikan tokoh-tokoh PKI dan para pelaku G30S sedemikian
rupa agar mudah dijatuhi hukuman (mati). Selain itu juga dimaksudkan untuk
menciptakan ketakutan terhadap mereka yang punya afiliasi dengan komunisme
atau terhadap setiap gerakan kiri di negeri ini.
Konsekuensi praktisnya ialah, kalau membunuh ratusan ribu orang saja dibiarkan,
orang akan merasa tidak apa-apa ketika melakukan tindakan-tindakan lain yang
sebenarnya jahat, tetapi yang ia pandang “lebih ringan” daripada
apa yang terjadi pada tahun 1965 itu. Misalnya tindakan melakukan penculikan
dan pembunuhan atas beberapa mahasiswa, mencuri beberapa milyar rupiah uang
negara, menjual sumber-sumber daya alam ke negara lain, menaikkan harga kebutuhan
pokok rakyat bawah secara berlebihan, atau memprovokasi konflik-konflik horisontal
yang korbannya “hanya” beberapa ribu orang, dsb. Akibat selanjutnya
adalah begitu banyak kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) berat yang
tak pernah diselesaikan secara tuntas di pengadilan, entah itu berkaitan dengan
masalah Maluku, Aceh, Poso, Tanjung Priok, Timor Leste, atau yang lain.
5. Belajar dari Sejarah.
Situasi demikian tentu tak dapat dibiarkan terus berlangsung. Perlu segera
dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, keadaan akan terus memburuk dan masa
depan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang adil dan demokratis akan
semakin dipertanyakan. Peringatan 40 tahun Tragedi ’65 adalah momentum
yang amat berharga. Misalnya dengan menggeser puncak peringatan Tragedi 1965-1966
itu dari bulan September ke bulan Oktober atau sesudahnya. Peringatan macam
itu bisa menjadi kesempatan bagi semua pihak, baik para sejarawan maupun masyarakat
pada umumnya, untuk setiap tahun secara kritis meninjau dan merekonstruksi
kembali apa yang terjadi pada pertengahan tahun 1960-an dengan segala kompleksitasnya.
Lebih dari itu, peringatan macam itu akan mengundang kita untuk berefleksi
dan belajar dari tragedi yang terjadi pada tahun 1965 itu, yang kekejamannya
nyaris tak tertandingi dalam sejarah Indonesia dan yang dampaknya masih tetap
mengganggu kehidupan bersama kita sebagai bangsa sampai sekarang.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut untuk belajar dari sejarahnya
sendiri.
Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika
Politik); dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tambahan Fakta
Hubungan Soeharto dan tujuh Jendral korban G30S
Pertama-tama perlu kita simak bagaimana hubungan Mayjen Soeharto dengan ketujuh
jenderal rekannya yang kemudian menjadi korban pembunuhan G30S, menurut Letkol
Untung mereka tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap
Presiden Soekarno. Jenderal Nasution luput dari percobaan penculikan dan pembunuhan,
sedang enam jenderal yang lain yang terbunuh, Letjen Ahmad Yani, Mayjen Suprapto,
Mayjen S Parman, Mayjen Haryono MT, Brigjen Sutoyo, Brigjen Panjaitan.
Ketika Kolonel Soeharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai
sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan
dalih untuk kesejahteraan anak buahnya. Soeharto membentuk geng dengan sejumlah
pengusaha seperti Lim Soei Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara
tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Soeharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor
Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak
jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong. Persoalannya
dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai
Kepala Staf Diponegoro, bawahan Soeharto. Maka MBAD membentuk suatu tim pemeriksa
yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT Haryono dan Sutoyo.
Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung
Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Soeharto
agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoro
dan digantikan oleh Pranoto. Kasus Soeharto tersebut akhirnya dibekukan karena
kebesaran hati Presiden Soekarno (D&R 3 Oktober 1998: 18).
Nasution mengusulkan agar Soeharto diseret ke pengadilan militer, tetapi tidak
disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto (Subandrio 2000:10). Kemudian ia dikirim
ke Seskoad di Bandung. Soeharto sendiri dalam otobiografinya mencatat persoalan
itu sebagai menolong rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka ia mengambil
prakarsa untuk melakukan barter gula dengan beras dari Singapura (Soeharto
1989:92). Ia tidak menyinggung sama sekali adanya tim penyelidik dari MBAD.
Selanjutnya ketika Soeharto hendak ditunjuk sebagai Ketua Senat Seskoad, hal
itu ditentang keras oleh Brigjen Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak
5 Oktober 1998:5), artinya moral Soeharto sebagai manusia, apalagi sebagai
prajurit, tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Silang pendapat dengan Jenderal A Yani lebih serius, hal itu bersangkutan
dengan bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad
(Crouch 1999:104). Demikianlah sedikit banyak Soeharto memiliki pengalaman
pribadi yang tidak menyenangkan dengan ketujuh rekannya tersebut dalam perjalanan
kariernya. Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Soeharto mendapatkan
tempat terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk
Jenderal Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen
Pranoto yang kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah
menunjukkan bahwa Soeharto benar-benar tidak “sebodoh” yang diperkirakan
Jenderal Nasution, juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung
Karno (Hanafi 1998:197)
Tanggal 2 Oktober 65, 3 orang perwira intel Kodam V Jaya yaitu Ngatman, Teguh,
dan Batara dibunuh di Jalan Arteri Jakarta Timur yang belum jadi. Siapa pembunuhnya
tidak diketahui dan tidak tertangkap hingga kini. Ketiga perwira itu esok
harinya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dengan masing-masing dinaikkan
pangkatnya satu tingkat. Diduga mereka adalah anggota Biro Khusus yang tahu
seluk beluk G30S proyek AD
S. Utomo
* * *
Dimuat pada Kompas 17 Desember 2005 (ada satu alinea yang kalimatnya
seperti terpotong)
Dalang Tragedi 1965
Baskara T Wardaya
Menarik sekali, akhir-akhir ini wacana Tragedi 1965 mencuat lagi ke permukaan.
Hal itu terjadi antara lain berkat terbitnya buku terjemahan karya Antonie
Dake, Sukarno File: Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan.
Telah timbul pro-kontra di masyarakat atas isi buku itu. Belum lama berselang
harian ini juga menurunkan dua artikel dan satu surat pembaca yang secara
lugas menanggapi buku itu (Kompas, 3 dan 13/12/2005).
Sedikit disayangkan, buku maupun kedua artikel itu lebih banyak berkisar
pada pertanyaan-pertanyaan di seputar siapa sebenarnya dalang di balik operasi
militer yang dilancarkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang menamakan diri
Gerakan Tiga Puluh September pada 1 Oktober 1965.
Sebagaimana diketahui, di bawah pimpinan Letkol Untung kelompok itu menjemput
paksa sejumlah perwira militer di Jakarta. Penjemputan paksa itu berujung
pada tewasnya sejumlah perwira tinggi dan menengah Angkatan Darat, yakni Aipda
KS Tubun, dan Ade Irma Surjani Nasution.
Siapa sebenarnya tokoh kunci operasi militer itu? Hingga kini masih merupakan
misteri, dan hal itu telah menjadi fokus berbagai wacana, termasuk tulisan-tulisan
di atas.
Ratusan ribu
Wacana demikian tentu amat perlu. Tetapi jika tidak hati-hati bisa menimbulkan
kesan, tragedi tahun 1965 hanya terbunuhnya para tokoh itu. Padahal, tragedi
tahun 1965 bukan hanya itu. Ada tragedi lain yang tidak kalah dahsyat, yakni
dibunuhnya ratusan ribu warga masyarakat Indonesia beberapa saat setelah terjadinya
peristiwa pembunuhan para petinggi militer itu apa pun justifikasinya. Mereka
dibunuh di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan sejumlah tempat lain di Tanah
Air. Kebanyakan dari mereka yang dibunuh itu adalah rakyat biasa yang kemungkinan
besar tak ada sangkut paut dengan operasi militer yang dilakukan Letkol Untung
dan kawan-kawan di Jakarta.
Dalam jumlah besar mereka dieksekusi tanpa melalui proses pengadilan, sementara
yang lolos dari eksekusi ditangkap dan dipenjara selama bertahun-tahun, juga
tanpa proses pengadilan.
Sejumlah tokoh militer dan politik yang diduga terkait operasi militer 1
Oktober 1965 itu memang diadili oleh suatu mahkamah khusus, tetapi sejauh
mana pengadilan itu fair masih merupakan tanda tanya. Jumlah yang dibunuh
itu begitu besar sehingga bisa jadi merupakan pembunuhan warga sipil terbesar
yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini.
Lepas dari siapa yang benar atau salah, pembunuhan itu mengingatkan, dalam
sejarahnya bangsa kita pernah melakukan pembantaian terhadap sesama warga
dengan cara dan dalam jumlah yang amat mengerikan.
Karena itu, perlulah tragedi berdarah itu terus diteliti dan dipelajari sehingga
tindakan di luar perikemanusiaan yang adil dan beradab seperti itu tak akan
terulang di masa datang. Dalam konteks itu pula penting mencari tahu tidak
hanya siapa dalang di balik pembunuhan 1 Oktober 1965, tetapi juga dalang
di balik pembunuhan massal pada pekan-pekan terakhir tahun 1965. Penting pula
mempelajari siapa yang terutama diuntungkan, serta apa saja dampak tragedi
itu bagi Indonesia saat itu, kini dan di masa depan.
Dalang pembantaian
Secara teoretis, tampaknya tidak akan terlalu sulit menemukan dalang dari
peristiwa itu, khususnya pada tingkat nasional. Fakta bahwa pembunuhan terjadi
pada minggu ketiga Oktober di Jawa Tengah, bulan November di Jawa Timur, dan
bulan Desember di Bali, menunjukkan, pembunuhan itu tidak terjadi secara spontan
dan serempak. Terkesan ada koordinasi dan provokasi.
Dengan kata lain, ada unsur koordinatordan provokator, dan itu penting untuk
segera diketahui publik. Seorang perwira militer memang pernah memimpin dan
mengoordinasikan operasi pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagainya,
tetapi tampaknya dia lebih merupakan semacam komandan lapangan saja (Siregar:
1995).
Besar kemungkinan, ada komando yang datang dari pihak yang lebih tinggi daripada
dia di Jakarta. Kemungkinan macam itu tentu amat penting untuk secepatnya
dikaji masyarakat.
Jika dalam kasus operasi militer yang dilakukan Gerakan Tiga Puluh September
dugaan tentang siapa dalangnya berkisar pada sejumlah pihak (seperti Bung
Karno, PKI, Letkol Untung, Mayjen Soeharto, dan CIA), dalam kasus pembunuhan
massal 1965 dugaan serupa bisa lebih dipersempit.
Bung Karno tentu bukan dalangnya karena tak ada tanda-tanda dia pernah berpikiran
membunuh secara massal anggota Partai Komunis atau partai politik apa pun
di negeri ini. Letkol Untung juga bukan, karena pada 2 Oktober 1965 gerakan
yang dipimpinnya telah gagal dan ia melarikan diri.
PKI juga tidak karena justru merekalah korban pembunuhan massal itu. Akhirnya
yang tinggal hanya sedikit kemungkinan, dan itu mendesak untuk segera diteliti
lebih lanjut. Dengan begitu, diharapkan penelitian dan wacana tentang tragedi
1965 tidak lagi hanya berkisar pada pencarian dalang Gerakan Tiga Puluh September
saja, tetapi juga dalang pembantaian massal 1965-1966. Dengan kata lain, bahkan
jika dalang dari operasi militer 1 Oktober 1965 telah ditemukan, masyarakat
masih harus mencari siapa sebenarnya dalang dari pembunuhan massal 1965.
Akhir kata, terpulang kepada masyarakat Indonesia (bukan hanya peneliti asing)
untuk mencari dan menemukan siapa sebenarnya tokoh kunci di balik pembunuhan
berskala besar itu. Terpulang kepada masyarakat, langkah apa yang mau diambil
jika tokoh itu akhirnya ditemukan.
Baskara T Wardaya Dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta
* * *
===============================================
Tanggapan Blogger :
Romo Baskara yang budiman,
Saya telah membaca tulisan anda di Kompas hari ini, singkat dan padat. Anda
telah menunjukkan masalah mendasar begitu penting yang selama ini kurang mendapatkan
perhatian para pakar, sejarawan, pengamat dan peminat, apalagi pemerintah
yang berkuasa. Pak Asvi dari Lipi dalam sejumlah tulisannya menyoroti masalah
itu perlu mendapatkan perhatian dan pengungkapan agar tidak terulang sebagai
bagian belajar dari sejarah. Beliau tidak bicara tentang dalang. Dalam tulisan
tersebut anda menyebut tentang dalang pembantaian itu.
Menurut hemat saya ini penting diungkap tidak hanya perwira lapangan, bukan
saja demi catatan sejarah, tetapi demi kebenaran. Kita tahu di tingkat akar
rumput telah dilakukan sejumlah penelitian, sebagian telah dibukukan (a.l.
Tahun yang tak pernah berakhir 2004), di antaranya memperkuat kesimpulan Benedict
Anderson dan Ruth McVey (berdasar berita koran) bahwa pembantaian di Jateng,
Jatim dan Bali itu terjadi setelah kedatangan pasukan RPKAD pimpinan Kolonel
Sarwo Eddhie Wibowo. Dalam buku saya, saya sebut adanya konseptor.
Dan konsep demikian tentunya digodok dalam lembaga intelijen, tentunya dengan
mudahnya berkas-berkasnya akan dihancurkan jika membahayakan sang rezim. Apakah
anda atau dan lembaga anda juga melakukan penelitian hal demkian? Dalam tulisan
tersebut anda merujuk Siregar 1995, apa itu almarhum MR Siregar yang bermukim
di Belanda dengan bukunya Holokaus...?
Demikian catatan seorang peminat sejarah 1965.
=======================================